Iblis selalu memakan korban baru setiap saat, dan perlahan akan menggerogoti seluruh nya, bahkan ke orang yang seharusnya tidak terlibat langsung dengan kita.
Hal tersebut adalah satu dari beberapa hal yang ingin diangkat di Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 (SIMA2) produksi Frontier Pictures, yang disutradarai oleh Timo Tjahjanto, serta dibintangi oleh berbagai ensemble cast, dengan Chelsea Islan, Baskara Mahendra, dan Widika Sidmore sebagai pemeran utamanya. Sebagai pengantarnya, SIMA2 ini merupakan direct sequel dari Sebelum Iblis Menjemput (SIM) yang tayang 2018 lalu, jadi untuk memahami cerita utuhnya, kalian bisa meluangkan dulu untuk menonton SIM sebelum ke bioskop menonton SIMA2.
Ya, setelah Alfie dan Nara selamat dari tragedi mengerikan yang merenggut nyawa saudara-saudara dan orang tua nya, mereka berdua kini ‘diseret’ ke masalah baru yang melibatkan sekelompok orang yang merupakan alumni panti asuhan, dikarenakan salah satu dari mereka sebelumnya mati oleh ritual iblis, yang ditampilkan pada prolog SIMA2 ini, yang sebenarnya memberikan semacam foreshadow, membuat kita mencurigai salah satu karakter.
Dan ketika semuanya sudah berkumpul di satu tempat, barulah segala kegilaan yang seru ini dimulai, semuanya mendadak menjadi rollercoaster ketika proses pelepasan kutukan berakhir berantakan, karena bukan kutukan yang hilang, tapi justru iblis yang bangkit, mengincar satu per satu dari mereka.
Bisa dibilang, pembangunan cerita di SIMA2 bukanlah hal terbaik, bahkan lebih lemah dari SIM. Mungkin bisa jadi dikarenakan SIMA2 ini ingin melakukan ekspansi cerita mengenai ritual iblis yang dilakukan di SIM, dengan korban yang berbeda, alih-alih membawa Lesmana lagi, walaupun Lesmana juga akan dimasukkan lagi sebagai plot device. Asal-usul mengenai ritual iblis ini diungkap oleh salah satu karakter, sayang sekali penyampaiannya masih tanggung pula, simply karena penjelasannya terasa ngga bisa dipercaya, karena di bagian awal source dari informasi tersebut ngga dibeberkan secara gamblang. Dan bahkan, setelah full story nya diungkap, rasa mengganjal masih tetap ada, mengingat revelation nya instan sekali.
Selain itu, cerita mengenai panti asuhan, yang menjadi tempat praktik ritual iblis, juga terasa dikulik dengan tanggung, seperti menceritakan bagaimana panti asuhan perlahan menjadi neraka bagi anak-anak di sana, yang sebagian besar dijelaskan melalui narasi salah satu karakter, didukung dengan beberapa scene, yang ternyata ngga sums whole things up, tetap masih ada yang kurang pada akhirnya.
Karena pembangunan cerita nya yang lemah, karakter pun juga terkena imbasnya di sini. Well, Alfie dan Nara terlihat masih memendam trauma yang membuat mereka sulit move on, toh nyatanya trauma tidak bisa sepenuhnya hilang dari kehidupan seseorang. Selain Alfie dan Nara, ada beberapa karakter baru, yakni alumni panti asuhan, yang dipertemukan dengan cara yang buruk. I mean, lu butuh bantuan orang, tapi lu nggedor-gedor pintu orang tersebut, dan kemudian lu sekap dia? Udah sinting kali ya. Namun, bukanlah Timo jika tidak menampilkan kegilaan dalam film nya.
Sebagian besar karakter dari kubu panti asuhan sebenarnya punya karakteristik yang menarik, namun sayang sekali, keunikan mereka ditampilkan setengah-setengah. Gini deh, kita tahu mereka dipersatukan karena common cause sebelum bertemu Alfie dan Nara. Dan setelahnya, kita perlahan memahami apa yang membuat satu per satu keunikan masing-masing karakter, seperti orang yang pemabuk, orang introvert, sampai ada orang yang bahkan tidak percaya takhayul. Namun kemudian, kita tidak diperlihatkan proses dari mereka menjadi karakter-karakter yang telah disebutkan itu, ya karena mendadak film menjadi rollercoaster, mengabaikan pentingnya cerita demi bersenang-senang diteror oleh iblis yang seharusnya tidak akan pernah muncul lagi.
Jujur saja, karakter-karakter menarik ini tidak akan terealisasikan dengan baik tanpa aktor dan aktris yang sebagian besar telah secara total memerankan peran mereka. Apabila kalian mengira Chelsea Islan lah yang memiliki peran paling baik, kalian salah, karena saya menganggap cast yang patut mendapatkan apresiasi terbesar adalah Widika Sidmore, yang mampu membawa karakternya menjadi lebih progressive dengan cakupan emosi yang luas seiring film berjalan. Namun, sisanya tetap perlu diapresiasi, mengingat semuanya terlihat diperlakukan sangat ekstrem di film ini sampai urat sakitnya putus semua, bahkan setelah dibanting, dicekik, dijedotin, dan lain sebagainya.
Dan tentu, elemen horror di SIMA2 ini merupakan minor upgrade dari SIM, melalui penggunaan iblis yang lebih edan, mengusung iblis baru sembari sesekali membawa iblis lama demi pembangunan karakter utama, yang memiliki muka yang pucat sekali dengan aksen hitam darah. Kengeriannya tidak sampai situ saja, karena iblis-iblis ini masih akan mengancam sepanjang film, dengan melakukan tindakan-tindakan yang jauh lebih brutal, salah satunya adalah ngejedotin kepala salah satu korbannya sampai ngga bisa gerak lagi. Jangan lupakan juga mengenai ketahanan iblisnya, yang sepertinya sangat kebal, udah disengat taser cukup lama, terus kepalanya kena gergaji, masih belum mati juga. Edan kan?
Dan tidak hanya iblis, SIMA2 juga menyelipkan pula unsur ilmu hitam, yang tidak hanya dimiliki oleh penultimate boss dan para kroconya, tapi juga karakter utama kita, si Alfie. Karena itulah, final battle nya malah menjadi pertarungan ilmu hitam, yang malah menjadi tidak se-intense di bagian sebelumnya, semata-mata karena tidak adil.
Departemen teknis juga patut diapresiasi disini. Penggunaan sound design nya oke, memanfaatkan berbagai sound effect yang membuat semuanya terasa believable walaupun terkadang menyebalkan karena terdengar terlalu keras, bahkan membuat saya semakin budeg (jujur, setelah menonton SIMA2, saya menjadi budeg, tidak hanya karena scoring berisiknya, tapi juga jejeritan penonton yang lemah pol), didukung pula dengan sinematografi yang dapat sesekali meningkatkan ketegangan, seperti trailing shot (gatau istilah aslinya apa, pokoknya pergerakan kamera yang ngikutin pergerakan benda tertentu) dan penggunaan blur-focus yang bagus namun overused.
Akhir kata, SIMA2 adalah sequel yang nanggung, dengan cerita yang tidak sekuat prequel nya, walaupun masih mengusung teknis yang wholesome. Beruntunglah SIMA2 ini didukung dengan cast yang lebih mumpuni, walaupun sayang, tanpa cerita yang baik, karakter tidak akan terbangun sempurna. Tapi jika kamu adalah orang yang suka dipacu jantungnya, SIMA2 mungkin adalah film yang tepat untukmu. Bagi saya, 6/10 adalah skor yang pas untuk SIMA2, tidak bagus namun juga tidak buruk lah ya.
Writer: Galih Dea Pratama